Fokus Utama: Ilmu Barokah dan Pendidikan Hati
Ada tiga hal penting yang harus
digarap secara serius oleh pendidikan, yaitu; ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Anak didik dikatakan cakap dalam tiga ranah tersebut
apabila ia pandai menangkap, menghapal, dan menyimpan semua ilmu dalam
memori otaknya, dan ia harus juga pandai mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, dia mampu menginternalisasikan semua nilai
pengetahuan itu ke dalam jiwa, karakter, dan tingkah lakunya dalam
interaksi sosial. Akhirnya, selain cerdas dalam menangkap ilmu dan
mengamalkannya untuk dirinya dan orang lain, dia juga mampu membuat
orang lain cerdas sebagaimana dirinya. Lebih sederhananya, selain dia
bermanfaat untuk orang lain dia juga mampu menjadikan orang lain
bermanfaat sebagaimana dirinya.
*Kunci Mendapatkan Ilmu yang Barokah*
Ada dua hal yang harus diperhatikan tentang ilmu, yaitu; ilmu yang barokah dan ilmu yang tidak barokah. Pertama,
ilmu yang barokah adalah ilmu yang dapat diamalkan sekaligus membawa
kesejahteraan dan keselamatan bagi pemiliknya dan orang lain di dunia
dan akherat. Ilmu ini tidak bisa dianalisa dengan logika kuantitas.
Sebab, seringkali secara kuantitas sedikit tapi manfaatnya luas bagi
masyarakat.
Menarik mencermati beberapa tokoh
berikut, yang dalam batas tertentu telah memperoleh ilmu yang barokah.
Misalnya, Hamka yang hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadi ahli
tafsir, D. Zawawi Imron juga tamatan Sekolah Rakyat (SR) menjadi
budayawan beken, dan banyak kiai sepuh di Indonesia yang
tidak berlatar-belakang pendidikan formal, tapi memiliki pesantren yang
masyhur. Fenomena tersebut jarang terjadi pada pelajar masa kini, bahkan
yang sudah bergelar serjana pun banyak yang menjadi pengangguran.
Meskipun ilmu barokah tidak bisa
dianalisa dengan logika statistik, tapi ia bisa dilihat dari
tanda-tandanya. Sebab, ilmu yang barokah secara kuantitas sedikit, tapi
manfaatnya sangat besar bagi diri sendiri dan masyarakat. Secara proses,
ilmu yang barokah diyakini bisa didapat dari sikap spiritualitas dan
moralitas yang tinggi. Di sinilah fungsi hati harus mendapat perhatian
lebih.
Rasulullah saw. menjelaskan, di dalam
tubuh manusia ada segumpal daging (hati) yang apabila dia baik maka
baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah seluruh
tubuhnya. (//Mutaffaq Alaih//). Kemudian, diceritakan oleh Imam
Syafi’i yang mengadu kepada seorang gurunya tentang kesulitannya dalam
menghapal. Maka, gurunya menasihatinya agar menjauhi maksiat. Sebab,
maksiatlah yang dapat memburamkan hati seseorang sehingga buta ketika
melihat sesuatu apalagi mengingat.
Oleh karena itu, Imam Al-Ghozali juga menyinggung dalam kitabnya, //Ihya Ulumuddin//,
orang yang banyak maksiat dan dosa tidak akan mendapatkan hakikat ilmu,
kecuali hanya huruf dan lafadznya saja. Hakikat ilmu adalah cahaya
Tuhan, dan cahaya Tuhan tidak akan ditunjukkan kepada orang yang
bermaksiat (hatinya kotor).
Agar mendapatkan ilmu sebagai cahaya
Tuhan yang mengajak kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat,
maka harus melakukan pembersihan hati dari segala kotoran batin.
Pembersihan hati tersebut harus dilakukan melalui pendidikan dan
gemblengan hati-meminjam istilah Aa Gym disebut manajemen qalbu.
*Dampak Ilmu yang Tidak Barokah*
Perlu kita ketahui, dampak yang
ditimbulkan oleh ilmu yang tidak mempunyai nilai barokah akan membawa
pemiliknya ke jalan yang negatif dan destruktif. Hal itu bisa dilihat
pada fenomena militer Amerika dan Israel yang menggunakan kecanggihan
teknologinya hanya untuk mendholimi orang-orang Muslim Palestina (bangsa
Palestina) yang tidak berdosa.
Dan kita bisa melihat juga, pada
pejabat-pejabat di negara kita yang hobi korupsi. Apakah mereka tidak
memiliki ilmu, bahwa korupsi itu dosa dan menyengsarakan rakyat?
Tentunya, mereka sudah tahu, tapi pengetahunya itu tidak membawa berkah.
Inilah jenis ilmu terakhir; ilmunya luas tapi tidak membawa berkah. Pinter tapi cuma minter-minterin.
Jadi jelas, bahwa selama ini dunia
pendidikan kita (baca: umum) makin hari makin hebat dengan berbagai
metodologi yang selalu inovatif ditambah dengan sarana dan prasarana
yang memadai, namun justru makin timbul pula fenomena-fenomena negatif
yang kian memperparah keresahan masyarakat. Misalnya, tambah suburnya
kasus-kasus korupsi yang bukan hanya terjadi di institusi-institusi
sekuler, tapi sudah menjangkit institusi-institusi keagamaan, tawuran
para pelajar, pergaulan bebas, ijazah palsu, belum lagi bencana-bencana
alam.
Semua itu, disebabkan perkembangan
ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak membawa
barokah. Tidak membawa berkah karena hati yang dipenuhi dengan
kemaksiatan sekaligus jauh dari hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Tuhan (baca: ibadah).
*Labotorium Hati*
Masjid sebagai pusat segala kegiatan
pendidikan di pesantren, terutama pendidikan hati. Pendidikan hati
dilakukan dengan cara konsistensi shalat jamaah, berdzikir, qiyamul lail
(seperti, shalat tahajjud), mengaji, i’tikaf, menjauhi maksiat dan
dosa. Oleh karena itu, pendidikan hati tersebut menjadi tolok ukur
keberhasilan peserta didik di persantren dalam berbagai potensi dan
profesinya, sekaligus tidak melupakan pendidikan yang berbasis
teknologi.
Artinya, segala potensi dan profesi
peserta didik hanya berangkat dari hati. Sebab, sebagaimana hadist Nabi
di atas, suasana hatilah yang akan mempengaruhi segala kondisi manusia.
Hati menjadi basis dan landasan keberhasilan peserta didik dalam
berbagai bidang kehidupan; agama, sosial, budaya, politik, ekonomi,
bahkan dalam bidang militer.
Sebagai contoh, penulis tertarik
kepada sistem perekrutan anggota militer gerakan Hamas di Palestina.
Yaitu, untuk menjadi anggota militer dalam gerakan tersebut harus lulus
tes seleksi berupa tes keimanan; terutama konsistensi salat jama’ah lima
waktu di masjid dan tes moral; berakhlak terpuji, sopan santun, rasa
hormat, dan kasih sayang.
Sedangkan segi fisik menjadi
pertimbangan yang paling akhir, dan terbukti hasilnya, kita bisa melihat
bagaimana kecerdasan taktik dan kekuatan militer Hamas yang mampu
mengimbangi kekuatan musuh meski dengan jumlah militer yang jauh tidak
berimbang.
Pasalnya, jika hati seseorang (baca:
peserta didik) sudah bersih dengan keimanan yang kuat, maka dia akan
menjadi manusia yang cerdas dan kuat sekaligus akan mudah menguasai
potensi-potensi ilmu lainnya. Dengan demikian, visi dan misi ideal
pesantren untuk mencetak kader-kader yang cerdas dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) sekaligus membawa berkah (imtak) akan betul-betul
terwujud dengan optimalisasi masjid sebagai laboratorium hati.