Minggu, 13 Desember 2015

 

Fokus Utama: Ilmu Barokah dan Pendidikan Hati


Ada tiga hal penting yang harus digarap secara serius oleh pendidikan,  yaitu; ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.  Anak didik dikatakan cakap dalam tiga ranah tersebut apabila ia pandai menangkap, menghapal, dan menyimpan semua ilmu dalam memori otaknya, dan ia harus juga pandai mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dia mampu menginternalisasikan semua nilai pengetahuan itu ke dalam jiwa, karakter, dan tingkah lakunya dalam interaksi sosial.  Akhirnya, selain cerdas dalam menangkap ilmu dan mengamalkannya untuk dirinya dan orang lain, dia juga mampu membuat orang lain cerdas sebagaimana dirinya. Lebih sederhananya, selain dia bermanfaat untuk orang lain dia juga mampu menjadikan orang lain bermanfaat sebagaimana dirinya.
*Kunci Mendapatkan Ilmu yang Barokah*
Ada dua hal yang harus diperhatikan tentang ilmu, yaitu; ilmu yang barokah dan ilmu yang tidak barokah. Pertama, ilmu yang barokah adalah ilmu yang dapat diamalkan sekaligus membawa kesejahteraan dan keselamatan bagi pemiliknya dan orang lain di dunia dan akherat. Ilmu ini tidak bisa dianalisa dengan logika kuantitas.  Sebab, seringkali secara kuantitas sedikit tapi manfaatnya luas bagi masyarakat.
Menarik mencermati beberapa tokoh berikut, yang dalam batas tertentu telah memperoleh ilmu yang barokah. Misalnya, Hamka yang hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) menjadi ahli tafsir, D. Zawawi Imron juga tamatan Sekolah Rakyat (SR) menjadi budayawan beken, dan banyak  kiai  sepuh di Indonesia yang tidak berlatar-belakang pendidikan formal, tapi memiliki pesantren yang masyhur. Fenomena tersebut jarang terjadi pada pelajar masa kini, bahkan yang sudah bergelar serjana pun banyak yang menjadi pengangguran.
Meskipun ilmu barokah tidak bisa dianalisa dengan logika statistik, tapi ia bisa dilihat dari tanda-tandanya. Sebab, ilmu yang barokah secara kuantitas sedikit, tapi manfaatnya sangat besar bagi diri sendiri dan masyarakat. Secara proses, ilmu yang barokah diyakini bisa didapat dari sikap spiritualitas dan moralitas yang tinggi. Di sinilah fungsi hati harus mendapat perhatian lebih.
Rasulullah saw. menjelaskan, di dalam tubuh manusia ada segumpal daging (hati) yang apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. (//Mutaffaq Alaih//). Kemudian, diceritakan oleh Imam Syafi’i yang mengadu kepada seorang gurunya tentang kesulitannya dalam menghapal. Maka, gurunya menasihatinya agar menjauhi maksiat. Sebab, maksiatlah yang dapat memburamkan hati seseorang sehingga buta ketika melihat sesuatu apalagi mengingat.
Oleh karena itu, Imam Al-Ghozali juga menyinggung dalam kitabnya, //Ihya Ulumuddin//, orang yang banyak maksiat dan dosa tidak akan mendapatkan hakikat ilmu, kecuali hanya huruf dan lafadznya saja. Hakikat ilmu adalah cahaya Tuhan, dan cahaya Tuhan tidak akan ditunjukkan kepada orang yang bermaksiat (hatinya kotor).
Agar mendapatkan ilmu sebagai cahaya Tuhan yang mengajak kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, maka harus melakukan pembersihan hati dari segala kotoran batin. Pembersihan hati tersebut harus dilakukan melalui pendidikan dan gemblengan hati-meminjam istilah Aa Gym disebut manajemen qalbu.
*Dampak Ilmu yang Tidak Barokah*
Perlu kita ketahui, dampak yang ditimbulkan oleh ilmu yang tidak mempunyai nilai barokah akan membawa pemiliknya ke jalan yang negatif dan destruktif. Hal itu bisa dilihat pada fenomena militer Amerika dan Israel yang menggunakan kecanggihan teknologinya hanya untuk mendholimi orang-orang Muslim Palestina (bangsa Palestina) yang tidak berdosa.
Dan kita bisa melihat juga, pada pejabat-pejabat di negara kita yang hobi korupsi. Apakah mereka tidak memiliki ilmu, bahwa korupsi itu dosa dan menyengsarakan rakyat? Tentunya, mereka sudah tahu, tapi pengetahunya itu tidak membawa berkah. Inilah jenis ilmu terakhir; ilmunya luas tapi tidak membawa berkah. Pinter tapi cuma minter-minterin.
Jadi jelas, bahwa selama ini dunia pendidikan kita (baca: umum) makin hari makin hebat dengan berbagai metodologi yang selalu inovatif ditambah dengan sarana dan prasarana yang memadai, namun justru makin timbul pula fenomena-fenomena negatif yang kian memperparah keresahan masyarakat. Misalnya, tambah suburnya kasus-kasus korupsi yang bukan hanya terjadi di institusi-institusi sekuler, tapi sudah menjangkit institusi-institusi keagamaan, tawuran para pelajar, pergaulan bebas, ijazah palsu, belum lagi bencana-bencana alam.
Semua itu, disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak membawa barokah. Tidak membawa berkah karena hati yang dipenuhi dengan kemaksiatan sekaligus jauh dari hal-hal yang mendekatkan diri kepada Tuhan (baca: ibadah).
*Labotorium Hati*
Masjid sebagai pusat segala kegiatan pendidikan di pesantren, terutama pendidikan hati. Pendidikan hati dilakukan dengan cara konsistensi shalat jamaah, berdzikir, qiyamul lail (seperti, shalat tahajjud), mengaji, i’tikaf, menjauhi maksiat dan dosa. Oleh  karena itu, pendidikan hati tersebut menjadi tolok ukur keberhasilan peserta didik di persantren dalam berbagai potensi dan profesinya, sekaligus tidak melupakan pendidikan yang berbasis teknologi.
Artinya, segala potensi dan profesi peserta didik hanya berangkat dari hati. Sebab, sebagaimana hadist Nabi di atas, suasana hatilah yang akan mempengaruhi segala kondisi manusia. Hati menjadi basis dan landasan keberhasilan peserta didik dalam berbagai bidang kehidupan; agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan dalam bidang militer.
Sebagai contoh, penulis tertarik kepada sistem perekrutan anggota militer gerakan Hamas di Palestina. Yaitu, untuk menjadi anggota militer dalam gerakan tersebut harus lulus tes seleksi berupa tes keimanan; terutama konsistensi salat jama’ah lima waktu di masjid dan tes moral; berakhlak terpuji, sopan santun, rasa hormat, dan kasih sayang.
Sedangkan segi fisik menjadi pertimbangan yang paling akhir, dan terbukti hasilnya, kita bisa melihat bagaimana kecerdasan taktik dan kekuatan militer Hamas yang mampu mengimbangi kekuatan musuh meski dengan jumlah militer yang jauh tidak berimbang.
Pasalnya, jika hati seseorang (baca: peserta didik) sudah bersih dengan keimanan yang kuat, maka dia akan menjadi manusia yang cerdas dan kuat sekaligus akan mudah menguasai potensi-potensi ilmu lainnya. Dengan demikian, visi dan misi ideal pesantren untuk mencetak kader-kader yang cerdas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sekaligus membawa berkah (imtak) akan betul-betul terwujud dengan optimalisasi masjid sebagai laboratorium hati.